Sirampog menjadi Zona Siaga
Bencana bukan semata karena alam marah. Ia sering kali adalah jawaban atas kelalaian manusia. Dan Sirampog, salah satu kecamatan di Kabupaten Brebes, menjadi saksi bisu dari kelalaian yang perlahan menjadi bencana. Letaknya yang berada di lereng selatan Gunung Slamet selama ini memberikan anugerah tanah subur dan udara sejuk. Tapi kini, daerah itu berubah menjadi zona siaga. Tanah bergerak, rumah retak, dan mata pencaharian warga pun perlahan runtuh.
Sirampog tidak sendiri. Banyak wilayah di Indonesia yang bernasib sama—digempur hujan, dilanda longsor, dan ditinggalkan solusi jangka panjang. Namun, Sirampog menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana pengabaian terhadap ekosistem hutan dan eksploitasi air tanah dapat mengundang bencana yang tidak hanya merusak fisik, tapi juga menghancurkan harapan.
Mendala, Luka yang Mewakili
Ambil contoh Desa Mendala. Sebuah dusun kecil di Kecamatan Sirampog yang dalam satu dekade terakhir mengalami keretakan tanah yang kian melebar. Di Dusun Krajan, retakan tanah kini bukan sekadar kerusakan, tetapi ancaman permanen bagi keselamatan warga. Ketika tanah tak lagi kokoh, bukan hanya rumah yang ambruk, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap perlindungan negara pun ikut runtuh.
Kita bisa menyalahkan curah hujan tinggi, atau menyebutnya sebagai bencana alam biasa. Tapi itu akan mengalihkan kita dari akar persoalan. Di balik itu semua ada fakta menyakitkan: hutan yang dulu melindungi desa-desa ini telah digunduli. Ladang sayuran menggantikan pepohonan besar. Dan ironisnya, praktik ini bukan dilakukan oleh korporasi besar, melainkan oleh masyarakat itu sendiri, yang terjebak dalam sistem ekonomi yang tidak menawarkan alternatif.
Ketika Air Bukan Lagi Berkah
Ironi lainnya adalah air. Di tanah yang subur dan berhujan tinggi, warga justru kekurangan air bersih. Eksploitasi sumur bor dalam, yang digalakkan demi mendukung pertanian hortikultura, telah menyebabkan penurunan muka air tanah secara drastis. Air yang dulunya mudah diakses kini menjadi rebutan. Lahan-lahan yang dulunya produktif menjadi gersang dan kritis.
Krisis air ini bukan hanya masalah ekologis, tapi juga masalah moral. Bagaimana bisa kita membiarkan sumber daya vital seperti air dikeruk tanpa kendali? Bagaimana mungkin tidak ada regulasi ketat, tidak ada audit, bahkan tidak ada edukasi memadai kepada warga tentang ancaman jangka panjang dari eksploitasi air tanah?
Hutan Gundul dan Kehilangan Akar
Hutan adalah sistem penyangga hidup. Ia menyimpan air, menahan tanah, dan menjaga suhu mikro. Tapi di Sirampog, hutan telah ditebang dan diganti dengan tanaman sayur. Tanaman yang memang menjanjikan secara ekonomi, tetapi memiliki akar dangkal dan tak mampu menahan air ketika hujan deras datang. Alih-alih berfungsi sebagai penahan longsor, ladang-ladang itu kini menjadi jalur luncur air dan tanah.
Kita harus jujur menyebut ini sebagai kegagalan pembangunan berkelanjutan. Ketika petani hanya diberi satu pilihan ekonomi—yakni bertani hortikultura di lahan miring—maka mereka akan melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Bahkan jika itu berarti membabat hutan yang telah melindungi mereka selama ratusan tahun.
Negara Harus Hadir Lebih Awal, Bukan Setelah Bencana
Sayangnya, reaksi pemerintah sering kali datang terlambat. Ketika rumah sudah hancur, barulah bantuan dikirim. Ketika jalan sudah longsor, barulah anggaran dikeluarkan. Padahal semua itu bisa dicegah jika ada perencanaan matang. Pemetaan risiko longsor harus dilakukan sejak lama. Sistem peringatan dini (early warning system) seharusnya menjadi bagian dari perangkat desa. Tapi hingga kini, banyak desa di Sirampog bahkan belum tahu apa itu mitigasi bencana.
Tata ruang pun menjadi dokumen formalitas. Tidak ada pengawasan nyata di lapangan. Pengeboran sumur dalam terjadi tanpa izin. Alih fungsi lahan dibiarkan. Semua terjadi dalam ketidaktahuan atau pembiaran yang sistematis.
Keadilan Ekologis untuk Sirampog
Keadilan ekologis bukan sekadar jargon akademik. Ia berarti memberikan hak yang setara kepada manusia dan alam. Ia menuntut kita untuk tidak mengeksploitasi satu demi keuntungan yang lain. Dalam konteks Sirampog, keadilan ekologis berarti memastikan bahwa masyarakat memiliki pilihan ekonomi yang tidak merusak lingkungan. Bahwa mereka mendapatkan edukasi dan dukungan untuk bertani secara lestari. Bahwa tanah dan air diperlakukan sebagai sumber daya bersama yang harus dijaga.
Program penghijauan harus lebih dari sekadar penanaman bibit. Ia harus dirancang dengan partisipasi masyarakat. Harus ada insentif bagi petani yang menerapkan agroforestri. Harus ada larangan tegas dan sanksi bagi pihak yang melakukan penggundulan hutan tanpa izin. Dan yang terpenting, harus ada perencanaan jangka panjang yang melibatkan semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan.
Kita Tidak Bisa Lagi Menunggu
Sirampog adalah contoh nyata dari alarm ekologis yang sedang berbunyi. Tapi kita tidak bisa lagi menunggu bencana yang lebih besar untuk bertindak. Saatnya kita berubah dari reaktif menjadi preventif. Saatnya kita membangun sistem perlindungan yang berbasis komunitas. Saatnya kita memandang air, tanah, dan hutan bukan sebagai komoditas semata, tapi sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga bersama.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengajak semua pihak merenung. Bahwa longsor di Mendala bukan sekadar tanah amblas, tapi simbol dari sistem yang mulai runtuh. Sistem yang terlalu fokus pada keuntungan jangka pendek dan lupa pada keberlanjutan.
Jika kita benar-benar mencintai desa dan tanah air kita, maka kita harus berani berubah. Bukan setelah bencana terjadi, tapi sekarang. Demi Sirampog. Demi generasi yang akan datang.
Penutup: Membangun Harapan dari Reruntuhan
Dalam reruntuhan tanah dan rumah, masih ada harapan. Harapan bahwa kita bisa belajar. Bahwa kita bisa menata ulang relasi kita dengan alam. Bahwa kita bisa membangun Sirampog menjadi wilayah yang kuat secara ekologis dan adil secara sosial.
Itu hanya bisa terjadi jika semua pihak bersedia duduk bersama, mendengar suara warga, menghormati alam, dan bergerak menuju masa depan yang lebih bijak. Karena pada akhirnya, Sirampog bukan hanya soal geografi. Ia adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan bumi tempat kita berpijak.
Komentar
Posting Komentar