Semangat Mahasiswa dari Masa ke Masa
Pada tahun 1997, saya memulai perjalanan sebagai mahasiswa. Sejak awal, saya merasa bahwa dunia kampus adalah tempat yang penuh dengan dinamika pemikiran, terutama dalam organisasi kemahasiswaan. Saya bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di mana diskusi dan kajian menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kami membaca berita dari koran-koran nasional, mengikuti perkembangan politik, dan membedah buku-buku pergerakan seperti karya Abdul Wahab, Soe Hok Gie, dan para pemikir lainnya yang membentuk pemahaman kami tentang situasi bangsa.
Saat itu, Indonesia tengah berada di ambang krisis. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak akibat dampak krisis moneter, sementara pemerintahan Orde Baru semakin kehilangan legitimasi. Kepercayaan terhadap rezim yang berkuasa mulai terkikis, dan keresahan semakin meluas di kalangan mahasiswa. Diskusi di kampus-kampus mulai berkembang menjadi mimbar bebas, tempat kami menyuarakan kegelisahan dan tuntutan reformasi. Di kontrakan dan kos-kosan, kami mengadakan rapat kecil, merumuskan strategi perjuangan, dan menyebarkan selebaran.
Demonstrasi demi demonstrasi mulai digelar. Apa yang awalnya merupakan gerakan sporadis, lambat laun berubah menjadi aksi nasional yang terorganisir. Kami turun ke jalan, membawa poster dan spanduk dengan tuntutan yang semakin jelas: turunkan Soeharto, hapuskan KKN, dan tegakkan demokrasi. Atmosfer kampus tidak lagi sama; ia menjadi pusat perlawanan, tempat lahirnya pemimpin-pemimpin muda yang berani berbicara melawan ketidakadilan.
Puncak dari segala gejolak ini terjadi pada Mei 1998. Tragedi Trisakti, yang menewaskan empat mahasiswa, memicu kemarahan yang lebih besar. Aksi-aksi mahasiswa semakin masif, dan rakyat pun mulai bergerak. Jakarta dipenuhi lautan manusia yang menuntut perubahan. Hingga akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri. Momen itu adalah titik balik dalam sejarah Indonesia—sebuah kemenangan bagi reformasi, meskipun perjuangan sejatinya belum selesai.
Kini, lebih dari dua dekade setelah Reformasi 98, saya kembali mengenang masa-masa itu. Kampus bukan sekadar tempat menimba ilmu, tetapi juga menjadi ruang perjuangan bagi perubahan. Buku-buku yang saya baca, diskusi-diskusi yang saya ikuti, dan aksi-aksi yang saya jalani, semuanya membentuk pemahaman saya tentang pentingnya suara rakyat dan kekuatan mahasiswa dalam mengawal demokrasi.
Reformasi mungkin telah melahirkan kebebasan, tetapi tugas kita belum selesai. Tantangan baru selalu muncul, dan kita tidak boleh berhenti memperjuangkan nilai-nilai yang dulu kami suarakan di jalanan. Karena sejatinya, reformasi bukan hanya milik mereka yang berjuang di tahun 1998, tetapi juga milik setiap generasi yang terus menjaga semangat perubahan.
Saat ini, kita kembali menyaksikan gelombang demonstrasi mahasiswa yang menyuarakan aspirasi rakyat. Isu-isu seperti pelemahan demokrasi, kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat, dan ancaman terhadap kebebasan berpendapat kembali mendorong mahasiswa turun ke jalan. Demonstrasi yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa semangat reformasi masih hidup. Mahasiswa tetap menjadi penggerak utama dalam mengawal pemerintahan agar tetap berpihak kepada rakyat.
Situasi saat ini semakin panas dengan adanya berbagai kebijakan kontroversial yang dianggap merugikan masyarakat. Mahasiswa turun ke jalan menuntut perbaikan kebijakan ekonomi, transparansi pemerintah, serta penegakan hukum yang adil dan tidak berpihak. Isu lainnya mencakup perlawanan terhadap revisi undang-undang yang dinilai melemahkan demokrasi, perlindungan terhadap hak-hak buruh, serta menolak kebijakan yang dinilai menguntungkan segelintir elite politik.
Namun, tantangan zaman telah berubah. Dengan perkembangan teknologi dan media sosial, gerakan mahasiswa kini memiliki platform yang lebih luas untuk menyuarakan pendapatnya. Informasi dapat menyebar dengan cepat, tetapi di sisi lain, tantangan berupa disinformasi dan penggiringan opini juga semakin besar. Oleh karena itu, mahasiswa saat ini harus semakin cerdas dalam mengolah informasi dan tetap kritis dalam menyuarakan perubahan.
Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peran penting dalam perjalanan demokrasi bangsa. Kini, kita kembali dihadapkan pada pertarungan antara idealisme dan kenyataan politik. Apakah gerakan mahasiswa saat ini mampu membawa perubahan yang lebih baik? Hanya waktu yang akan menjawabnya, tetapi satu hal yang pasti: perjuangan tidak boleh berhenti.
Komentar
Posting Komentar