Runtuhnya Marwah Hukum: Catatan Kritis atas Putusan Pengadilan terhadap Tom Lembong
Ketika hukum kehilangan keberpihakannya pada kebenaran dan keadilan, yang tersisa hanyalah serangkaian prosedur kosong. Putusan pengadilan terhadap Thomas Trikasih Lembong—tokoh publik dengan reputasi integritas yang kuat—menjadi sinyal peringatan bahwa krisis hukum di Indonesia bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang semakin mencolok. Ini bukan hanya perkara satu orang. Ini adalah cerita runtuhnya marwah hukum di negeri hukum.
Sosok yang Tak Asing bagi Reformasi
Thomas Trikasih Lembong bukanlah figur sembarangan dalam ranah kebijakan publik Indonesia. Alumni Harvard dan mantan eksekutif di sektor keuangan internasional, Tom dikenal luas sebagai teknokrat bersih yang kerap berpikir di luar kotak. Ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan (2015–2016), kemudian dipercaya sebagai Kepala BKPM, dua posisi strategis yang menuntut kecermatan, keberanian, dan integritas tinggi dalam pengambilan kebijakan.
Selama masa jabatannya, Lembong dikenal getol mendorong iklim investasi yang lebih sehat dan efisien, sekaligus berani menyuarakan kritik terhadap praktik birokrasi yang kolot dan penuh konflik kepentingan. Bagi sebagian kalangan, langkah-langkah reformis itu tentu tidak menyenangkan. Ada banyak kepentingan yang terusik. Dan seperti yang sering terjadi dalam sejarah republik ini, orang-orang yang menabrak arus biasanya menghadapi risiko besar—termasuk kriminalisasi hukum.
Putusan yang Mengundang Tanda Tanya
Kasus hukum yang menimpa Tom Lembong berkaitan dengan kebijakan administratif di masa jabatannya di BKPM. Prosedur, penandatanganan, dan rekomendasi yang diambil saat itu dinilai oleh jaksa sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Padahal, jika ditilik dari keterangan saksi ahli, kronologi kejadian, serta dokumen pendukung, keputusan tersebut masih berada dalam koridor diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi negara.
Namun, pengadilan justru menjatuhkan vonis yang tidak hanya ganjil, tapi nyaris mencederai akal sehat. Hakim tidak fokus pada bukti konkret, melainkan menilai motif dan itikad—sebuah arena yang sangat subjektif dan rawan manipulasi. Ketika ruang hukum diisi oleh spekulasi dan asumsi, bukan pembuktian dan logika, maka sejatinya kita sedang menyaksikan hukum sebagai sandiwara, bukan sebagai sistem penegakan keadilan.
Preseden Berbahaya
Putusan ini menciptakan preseden yang berbahaya, khususnya bagi para pejabat publik dan birokrat yang ingin bekerja secara progresif. Jika pengambilan keputusan yang bertujuan mempercepat pelayanan atau memotong jalur birokrasi justru dianggap sebagai pelanggaran hukum, maka pesan yang dikirim sangat jelas: jangan berpikir kreatif, jangan ambil risiko, dan jangan lawan sistem.
Dampaknya akan sistemik. Para pejabat akan cenderung mengambil posisi aman—tidak melakukan apa-apa demi menghindari jeratan hukum. Inilah yang disebut paralysis by fear: kelumpuhan birokrasi karena takut bertindak. Maka, jangan heran bila reformasi menjadi stagnan dan pelayanan publik semakin lelet. Ketiadaan perlindungan hukum bagi kebijakan yang sah justru akan mendorong lahirnya generasi birokrat yang apatis dan oportunistik.
Antara Hukum dan Kekuasaan
Yang mengkhawatirkan bukan hanya substansi putusannya, tetapi atmosfer politik yang melingkupinya. Banyak pengamat menilai bahwa kasus ini tak bisa dilepaskan dari posisi Tom Lembong sebagai sosok yang bersebrangan dukungan di Pilpres 2024. Ia dikenal lantang menyuarakan kritik terhadap proyek-proyek besar yang dinilai tidak efisien atau penuh konflik kepentingan, termasuk megaproyek Ibu Kota Negara (IKN).
Apakah hukuman ini menjadi pesan politis untuk membungkam suara-suara kritis? Pertanyaan itu patut diajukan. Kita tidak sedang berteori konspirasi, tapi belajar dari sejarah politik hukum Indonesia yang kerap memanfaatkan instrumen hukum untuk menyingkirkan lawan atau pihak-pihak yang dianggap membahayakan status quo.
Ketika hukum berada di bawah bayang-bayang kekuasaan, maka yang terjadi bukan negara hukum (rechstaat), melainkan negara kekuasaan (machtsstaat). Di sinilah tragedi sebenarnya bermula.
Krisis Legitimasi Lembaga Peradilan
Dampak dari vonis seperti ini sangat serius: rusaknya kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Masyarakat makin skeptis. Mereka mulai bertanya: apakah pengadilan benar-benar bekerja untuk menegakkan kebenaran, atau hanya menjadi alat bagi elite tertentu?
Lembaga peradilan tidak bisa berdiri di atas ketakutan dan persepsi buruk. Tanpa kepercayaan publik, pengadilan kehilangan legitimasi moral. Dan tanpa legitimasi, hukum hanya menjadi teks mati yang kehilangan daya korektifnya terhadap ketimpangan dan kezaliman.
Mendekonstruksi Narasi Hukum Positivistik
Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bahwa kita tak bisa terus-menerus berpegang pada tafsir hukum yang semata-mata legal-formal. Hukum tidak hanya soal hitam-putih pasal, tetapi juga konteks, niat, dan tujuan kebijakan. Hukum administrasi memberi ruang bagi diskresi pejabat publik, selama niat dan prosesnya dapat dipertanggungjawabkan.
Jika aspek-aspek tersebut diabaikan dan diganti dengan pendekatan hukum yang mekanistik, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan formalitas kosong yang menghancurkan inisiatif baik dan inovasi kebijakan.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Sebagian mungkin bertanya: mengapa harus peduli pada kasus ini? Bukankah Tom Lembong bisa membela diri lewat pengacara dan mekanisme banding?
Jawabannya sederhana: karena jika kita diam sekarang, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya. Hari ini Tom Lembong, besok bisa aktivis, akademisi, jurnalis, atau siapa saja yang berani berpikir berbeda dari arus utama kekuasaan.
Apalagi di tengah situasi politik nasional yang kian menjauh dari semangat demokrasi substansial. Hukum seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan alat represi kekuasaan. Ketika hukum sudah tak lagi bisa dipercaya, maka ruang sipil akan menyempit, dan masyarakat akan terperosok dalam ketakutan kolektif.
Saatnya Menghidupkan Nurani Hukum
Kita tak bisa terus membiarkan sistem hukum berjalan tanpa pengawasan publik. Sudah saatnya masyarakat sipil, media independen, akademisi, dan kalangan profesional bersatu mendorong reformasi hukum yang sejati: bukan hanya membenahi prosedur, tapi juga menanamkan kembali etika dan nurani dalam setiap keputusan hukum.
Pengadilan harus kembali pada rohnya: melayani kebenaran, bukan penguasa; mengedepankan logika hukum, bukan tekanan politik; dan menjadi benteng terakhir, bukan pintu masuk ke jurang ketidakadilan.
Penutup
Vonis terhadap Tom Lembong adalah luka serius bagi hukum Indonesia. Ia menandai titik nadir kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang semestinya menjadi penegak keadilan, bukan penjaga kekuasaan. Jika kita masih percaya bahwa negeri ini bisa berubah menjadi lebih baik, maka inilah saatnya bersuara. Bukan demi satu orang, tetapi demi seluruh anak bangsa yang kelak akan hidup dalam sistem hukum yang kita wariskan hari ini.
“Keadilan tanpa kekuatan adalah impoten. Kekuatan tanpa keadilan adalah tirani.” – Blaise Pascal
Komentar
Posting Komentar